A Letter for 2020
Writing this letter is making me cringe, but im trying so hard to go on... So here we go
Pertanyaanku, aku harus memulai awal tahun ini seperti apa? Pasalnya aku tidak pernah merencanakan hariku akan seperti apa, maksudku apakah hari ini aku akan sedikit beruntung ataukah buntung. Siapa yang tau pasti?
Aku hanya membiarkannya seperti matahari yang terbit dan melewatkannya seperti senja yang menghilang tergantikan malam. Aku hanya membiarkannya begitu saja. Faktanya hariku hari ini tidak jauh berbeda seperti hari Selasa 31 Desember 2019. Hanya peralihan waktu dan pergantian angka. Waktu tetap berjalan. Waktu tetap berkurang.
Melihat jauh ke belakang membuatku bergidik ngeri. Bahkan membayangkan ke depan membuatku depresi. Well...aku hanya menikmati hari ini, sekarang ini, detik ini. Mengharapkan tidak ada hal yang membuatku khawatir. Tapi siapalah aku yang bisa terbebas dari rasa itu.
Aku tidak ingin berharap banyak di tahun ini. Karna aku tahu jika aku terus membiarkannya, aku hanya akan menemukan ketidakterbatasan yang justru akan menghancurkanku. (Tolong jangan hanya melihat dari satu sisi).
Aku sadar aku terlalu kaku pada diriku sendiri, tentu terkadang aku juga ingin terbebas dari rasa ini. Oleh karena itu aku juga kadang membisikkan pada diri sendiri "tidak apa-apa, tidak apa-apa begini. Tidak apa-apa sedikit berhenti, tidak apa-apa sedikit berjalan mundur, tidak apa-apa sedikit menangis" dan pastikan kita tetap kuat setelahnya.
Tidak lupa untuk berterimakasih pada semua hal yang telah berlalu. Karenanya mengajarkan kita untuk menjadi lebih kuat, karenanya memberikan pelajaran yang tidak pernah di dapat dengan kesengajaan. Aku beruntung mengalami segalanya, meskipun aku bukan manusia terhebat, bukan manusia terkuat, bukan manusia ter ter ter yang bisa langsung tersenyum begitu segala sesuatu menghampiri.
Just a thought...
Setiap orang membutuhkan waktu dan ruang. Butuh makan, istirahat dan tidur. Siapapun itu. Pada dasarnya kita hanyalah manusia. Dikenal ataupun tidak dikenal. Terkenal ataupun tidak terkenal. Kenapa kita terus menyangkal bahwa kita bisa merasa lelah dan penat? Merasa marah dan lapar. Entah itu untuk diri sendiri ataupun orang lain. Tapi bagi orang tertentu hal itu kadang harus disembunyikan di balik senyumnya. Mengisyaratkan bahwa mereka baik-baik saja. Mengabaikan emosi yang dimiliki. Bukankah emosi itu sesuatu yang normal? Yaaah bisa mengendalikan emosi memang kelebihan yang luar biasa. Tapi apakah itu sebuah kesalahan jika sedih harus menangis? Apakah salah jika kecewa harus cemberut? Salahkah jika merasa ingin beristirahat karena kelelahan? Lantas kenapa kita terus menerapkan standar yang bisa memberikan penekanan bagi yang lain? Bahkan tanpa kita sadari ketika mereka marah, lapar, panas dan haus, kita terus memintanya tersenyum, bahkan kerap memberikan penilaian yang salah hanya karna kita tidak mendapatkan senyuman dari wajah itu. Apakah ada orang yang bisa membaca isi hati dan pikiran orang lain persis benarnya? Padahal kita tidak pernah tau apa yang dialaminya, apa yang dilaluinya, apa yang difikirkannya. Kenapa terus membencinya hanya karena ketidakcocokan standar yang diharapkan dengan yang diperoleh? Bahkan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita sama sekali. Kenapa terus membatasinya dengan standar-standar yang ah sudahlah. Ah memuakkan pikirku. Menyukai cukup sewajarnya, membenci juga tidak ada gunanya (jika bisa dihilangkan saja). Melebihi kadarnya hanya akan membuat lelah. Kalau tidak menyukai tidak perlu menghina, tidak perlu mengubah pandangan yang lain untuk ikut tidak menyukai hal yang sama. Kadang perkataan kita justru bisa melukai yang lain atapun sebaliknya. Sewaktu-waktu perkataan kita bisa menjadi obat ataupun racun bagi yang lain.
Mungkin banyak yang tidak mengerti bagian ini (dan tidak perlu dimengerti), karna aku tidak bisa menulis sejelas itu tapi aku hanya tidak ingin seseorang menebar kebencian. Tidak semua orang diharuskan (ditakdirkan) untuk menyukai coklat ataupun es krim. Setauku setiap orang itu istimewa, mereka indah dijalannya masing-masing. Mereka berharga. Mereka memiliki hak yang sama. Jangan memaksanya seperti apa yang kita mau. Setiap orang berhak memilih dan bahagia atas jalannya masing-masing.
Dia adalah dia. Dia bukan kamu. Dia bukan aku.
Aku adalah aku.
Kamu adalah kamu.
Well...2020
Please be nice
Mohon dengan sangat untuk tidak lebih buruk dari sebelumnya.
Aku sadar aku terlalu kaku pada diriku sendiri, tentu terkadang aku juga ingin terbebas dari rasa ini. Oleh karena itu aku juga kadang membisikkan pada diri sendiri "tidak apa-apa, tidak apa-apa begini. Tidak apa-apa sedikit berhenti, tidak apa-apa sedikit berjalan mundur, tidak apa-apa sedikit menangis" dan pastikan kita tetap kuat setelahnya.
Tidak lupa untuk berterimakasih pada semua hal yang telah berlalu. Karenanya mengajarkan kita untuk menjadi lebih kuat, karenanya memberikan pelajaran yang tidak pernah di dapat dengan kesengajaan. Aku beruntung mengalami segalanya, meskipun aku bukan manusia terhebat, bukan manusia terkuat, bukan manusia ter ter ter yang bisa langsung tersenyum begitu segala sesuatu menghampiri.
Just a thought...
Setiap orang membutuhkan waktu dan ruang. Butuh makan, istirahat dan tidur. Siapapun itu. Pada dasarnya kita hanyalah manusia. Dikenal ataupun tidak dikenal. Terkenal ataupun tidak terkenal. Kenapa kita terus menyangkal bahwa kita bisa merasa lelah dan penat? Merasa marah dan lapar. Entah itu untuk diri sendiri ataupun orang lain. Tapi bagi orang tertentu hal itu kadang harus disembunyikan di balik senyumnya. Mengisyaratkan bahwa mereka baik-baik saja. Mengabaikan emosi yang dimiliki. Bukankah emosi itu sesuatu yang normal? Yaaah bisa mengendalikan emosi memang kelebihan yang luar biasa. Tapi apakah itu sebuah kesalahan jika sedih harus menangis? Apakah salah jika kecewa harus cemberut? Salahkah jika merasa ingin beristirahat karena kelelahan? Lantas kenapa kita terus menerapkan standar yang bisa memberikan penekanan bagi yang lain? Bahkan tanpa kita sadari ketika mereka marah, lapar, panas dan haus, kita terus memintanya tersenyum, bahkan kerap memberikan penilaian yang salah hanya karna kita tidak mendapatkan senyuman dari wajah itu. Apakah ada orang yang bisa membaca isi hati dan pikiran orang lain persis benarnya? Padahal kita tidak pernah tau apa yang dialaminya, apa yang dilaluinya, apa yang difikirkannya. Kenapa terus membencinya hanya karena ketidakcocokan standar yang diharapkan dengan yang diperoleh? Bahkan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita sama sekali. Kenapa terus membatasinya dengan standar-standar yang ah sudahlah. Ah memuakkan pikirku. Menyukai cukup sewajarnya, membenci juga tidak ada gunanya (jika bisa dihilangkan saja). Melebihi kadarnya hanya akan membuat lelah. Kalau tidak menyukai tidak perlu menghina, tidak perlu mengubah pandangan yang lain untuk ikut tidak menyukai hal yang sama. Kadang perkataan kita justru bisa melukai yang lain atapun sebaliknya. Sewaktu-waktu perkataan kita bisa menjadi obat ataupun racun bagi yang lain.
Mungkin banyak yang tidak mengerti bagian ini (dan tidak perlu dimengerti), karna aku tidak bisa menulis sejelas itu tapi aku hanya tidak ingin seseorang menebar kebencian. Tidak semua orang diharuskan (ditakdirkan) untuk menyukai coklat ataupun es krim. Setauku setiap orang itu istimewa, mereka indah dijalannya masing-masing. Mereka berharga. Mereka memiliki hak yang sama. Jangan memaksanya seperti apa yang kita mau. Setiap orang berhak memilih dan bahagia atas jalannya masing-masing.
Dia adalah dia. Dia bukan kamu. Dia bukan aku.
Aku adalah aku.
Kamu adalah kamu.
Well...2020
Please be nice
Mohon dengan sangat untuk tidak lebih buruk dari sebelumnya.
Comments
Post a Comment