MAAF



Aku tau, tidak ada lagi yang iseng mampir ke tulisan receh seperti ini. Entah karna bacotku yang mulai menumpul atau otakku yang mulai karatan. 

Kebingungan menjadi awal lahirnya laman ini. Disaat aku tidak bisa mengukir untaian kata yang ingin aku sampaikan, aku lebih cenderung merenung dan segerombolan bisikan mulai riuh menghampiri. Ku akui jari-jariku mulai menumpul mengetuk papan huruf yang biasanya bagaikan Beethoven yang memainkan symphoninya. (duh kadang suka lebay). Kali ini aku benar-benar payah. 

Bagaimana caraku menyampaikannya, rasanya segala ucapan itu terbelit di ujung lidahku. 

Aku cenderung tipekal orang yang memiliki ide ketika suasana hati buruk kususnya untuk menulis. Tapi sekarang ini, aku tidak tau seperti apa suasana hatiku. Dibilang buruk, tidak. Dibilang baik juga tidak benar. Aku berada di antara keduanya. 

Kebohongan yang sering kita lakukan adalah dengan selalu mengatakan "aku baik-baik saja". Seolah-olah itu bagaikan mantra yang kerap kali kita ucapkan ketika ada yang bertanya "apakah kamu baik-baik saja?". Aku tidak tau apakah memang itu jawaban yang seharusnya atau itu hanyalah template yang selalu saja berulang. 

Kali ini aku ingin benar-benar menyampah di sini. Jujur aku seringkali merasa menyesal dengan segala celotehan dan pikiranku sendiri. Ya ini tidak akan berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Hanya akan ada penyesalan dan kebingungan. 

Rasanya aku ingin meminta maaf atas semua telinga yang pernah mendengar suara hatiku. Kadang aku merasa lega setelah sedikit menumpahkan isi kepalaku yang berantakan. Kemudian penyesalan itu menyusul bagaikan peluru yang melesat menembus dadaku. Aku tidak bermaksud untuk mentransfer energi negatif yang aku punya. Itu terjadi begitu saja. Aku turut menyesali atas semua celotehan yang pernah terlontar. Sudah memang benar penyesalan itu bagian dari hidup. Maaf saja, itu benar-benar di luar kendaliku. Aku bahkan tidak benar-benar tahu seperti apa aku harus menjelaskannya.

Terkadang aku ingin melempar jauh-jauh apa yang telah aku ceritakan, melupakannya seolah aku tidak pernah melakukannya. Namun memang itu yang terjadi, kemudian aku mulai menyalahkan diri dan mengutuk diri betapa bodohnya aku menyampah. Rasanya membuatku ingin menghilang. 

Kosong....

Apakah kamu bisa menemukan apa yang hendak aku katakan?



Ironinya ketika aku memperoleh trauma dari apa yang tidak bisa aku sebut justru aku melihat hidupnya jauh lebih baik dan berjalan pesat. Sedangkan aku? Setiap hari harus berteriak dan menampar ingatan yang terkadang terbesit dengan sialnyanya menghampiri. Jika aku mengatakan ini tidak adil, justru aku yang akan terus dihujat layaknya manusia yang selalu mengeluh dan tidak pernah bersyukur. Dari sanalah timbul penyesalan kenapa aku seharusnya tidak menumpahkan isi kepalaku, jika yang aku dapatkan justru menambah beban pikiranku. 

Seringkali otakku berbisik bisakah kita mengesampingkan sedikit saja kepedulian kita pada beberapa hal yang terus membuat risau. Seperti menyesali masa lalu dan terus mengkhawatirkan masa depan. 

Setiap orang pasti berjuang untuk menjalani hidupnya sendiri. Kadar sedih dan senangnya seseorang itu tidak bisa dibandingkan berat ringannya. Mereka yang menghadapi mereka pula yang menilai seberapa rumitnya hal itu. Seberapapun sulitnya itu tentu hidup akan terus bejalan. Bukan kita yang memilih mengalami ini dan itu, kehidupanlah yang menentukan siapa yang akan dia hampiri atau lewati. Karena bagaimanapun juga kita tetap pemeran utamanya. Jadi tetaplah hidup meski rasanya sulit. Meskipun tidak bisa menjadi bunga, setidaknya tidaklah menjadi ilalang yang merusak tanaman lainnya. 

Comments

Post a Comment

Popular Posts